Selasa, 13 Agustus 2013



Do’a Meminta Anak yang Sholeh Nabi Ibrahim

Setiap orang yang telah berumah tangga atau akan pasti menginginkan si buah hati. Mungkin ada yang telah menanti bertahun-tahun, namun belum juga dikaruniai buah hati. Juga ada yang menginginkan agar anaknya menjadi sholeh. Maka perbanyaklah do’a akan hal tersebut. Banyak do’a yang telah dicontohkan dlm Al Qur’an & Al Hadits. Di antaranya ada do’a yang berasal dari para Nabi ‘alaihimush sholaatu was salaam.
Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam, berkata,
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ
“Robbi hablii minash shoolihiin” [Ya Rabbku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh]”. (QS. Ash Shaffaat: 100). Ini adalah do’a yang bisa dipanjatkan utk meminta keturunan, terutama keturunan yang sholeh. Dalam Zaadul Masiir (7/71), dijelaskan maksud ayat tersebut oleh Ibnul Jauzi rahimahullah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang nanti termasuk jajaran orang-orang yang sholeh.” Asy Syaukani rahimahullah mengatakan apa yang dikatakan oleh para pakar tafsir, “Ya Rabb, anugerahkanlah padaku anak yang sholeh yang termasuk jajaran orang-orang yang sholeh, yang bisa semakin menolongku taat pada-Mu”. Jadi yang namanya keturunan terutama yang sholeh bisa membantu seseorang semakin taat pada Allah.
Nabi Dzakariya ‘alaihis salaam berdo’a,
رَبِّ هَبْ لِي مِنْ لَدُنْكَ ذُرِّيَّةً طَيِّبَةً إِنَّكَ سَمِيعُ الدُّعَاءِ
“Robbi hab lii min ladunka dzurriyyatan thoyyibatan, innaka samii’ud du’aa’” [Ya Rabbku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mengdengar doa] (QS. Ali Imron: 38). Maksud do’a ini kata Ibnu Katsir rahimahullah, “Ya Rabb anugerahkanlah padaku dari sisi-Mu keturunan yang thoyyib yaitu anak yang sholeh. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 3/54)
Seseorang yang telah dewasa & menginjak usia 40 tahun memohon pada Allah,
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحًا تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Robbi awzi’nii an asy-kuro ni’matakallatii an’amta ‘alayya wa ‘ala walidayya wa an a’mala shoolihan tardhooh, wa ash-lihlii fii dzurriyatii, inni tubtu ilaika wa inni minal muslimiin” [Ya Rabbku, tunjukilah aku utk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku & kepada ibu bapakku & supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dgn (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau & Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri] (QS. Al Ahqof: 15). Do’a ini juga berisi permintaan kebaikan pada anak & keturunan.
‘Ibadurrahman (hamba Allah Yang Maha Pengasih) berdo’a,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Robbanaa hab lanaa min azwajinaa wa dzurriyatinaa qurrota a’yun waj’alnaa lil muttaqiina imaamaa” [Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, isteri-isteri kami & keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), & jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa]. (QS. Al Furqon: 74)
Al Qurtubhi rahimahullah berkata,
ليس شيء أقر لعين المؤمن من أن يرى زوجته وأولاده مطيعين لله عز وجل.
“Tidak ada sesuatu yang lebih menyejukkan mata seorang mukmin selain melihat istri & keturunannya taat pada Allah ‘azza wa jalla.” Perkataan semacam ini juga dikatakan oleh Al Hasan Al Bashri. (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 10/333)
Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan anak Ummu Sulaim, yaitu Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhuma dgn do’a,
اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ ، وَبَارِكْ لَهُ فِيمَا أَعْطَيْتَهُ
“Ya Allah, perbanyaklah harta & anaknya, serta berkahilah apa yang engkau karuniakan padanya.” (HR. Bukhari no. 6334 & Muslim no. 2480). Dari sini seseorang bisa berdo’a utk meminta banyak keturunan yang sholeh pada Allah,
اللَّهُمَّ أكْثِرْ مَالِي، وَوَلَدِي، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أعْطَيْتَنِي
“Allahumma ak-tsir maalii wa waladii, wa baarik lii fiimaa a’thoitanii“ (Ya Allah perbanyaklah harta & anakku serta berkahilah karunia yang Engkau beri).”
Moga dgn lima do’a di atas, Allah menganugerahkan pada kita sekalian keturunan bagi yang belum dianugerahi & dikaruniai anak-anak yang sholeh nan sholehah. Aamiin Yaa Samii’ud Du’aa’.

Jogja, 18 Jumadats Tsaniyyah 1432 H (21/05/2011)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id

Referensi:
Fathul Qodir, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir.
Fiqhud Du’aa’, Musthofa bin Al ‘Adawi, Maktabah Makkah, cetakan pertama, 1422 H.
Syarh Ad Du’a minal Kitab was Sunnah (Syaikh Sa’id bin Wahf Al Qohthoni), Mahir bin ‘Abdul Humaid bin Muqoddam, soft file (.doc)
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ismail Ibnu Katsir, Muassasah Qurthubah.
Zaadul Masiir fi ‘Ilmi Tafsir, Ibnul Jauzi, terbitan Al Maktab Al Islami.



Lima Faedah Puasa Syawal Puasa Syawal
Alhamdulillah, kita saat ini telah berada di bulan Syawal. Kita juga sudah mengetahui ada amalan utama di bulan ini yaitu puasa enam hari di bulan Syawal. Apa saja faedah melaksanakan puasa tersebut? Itulah yang akan kami hadirkan ke tengah-tengah pembaca pada kesempatan kali ini. Semoga bermanfaat.
Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”[1]
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dgn sepuluh kebaikan yang semisal. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh, -pen) sama dgn (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) & puasa enam hari di bulan Syawal sama dgn (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).[2] Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal & sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا
“Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal][3].”[4] Satu kebaikan dibalas dgn sepuluh kebaikan semisal & inilah balasan kebaikan yang paling minimal.[5] Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Cara melaksanakan puasa Syawal adalah:
Puasanya dilakukan selama enam hari.
Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.
Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tak mengapa jika dilakukan tak berurutan.
Usahakan utk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Dan ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan & menyempurnakan ibadah wajib.
Yang dimaksudkan di sini bahwa puasa syawal akan menyempurnakan kekurangan-kekurangan yang ada pada puasa wajib di bulan Ramadhan sebagaimana shalat sunnah rawatib yang menyempurnakan ibadah wajib. Amalan sunnah seperti puasa Syawal nantinya akan menyempurnakan puasa Ramadhan yang seringkali ada kekurangan di sana-sini. Inilah yang dialami setiap orang dlm puasa Ramadhan, pasti ada kekurangan yang mesti disempurnakan dgn amalan sunnah.[6]
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Dia akan tunjuki utk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.[7] Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf,
مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا، وَمِنْ جَزَاءِ السَّيِّئَةِ السَّيِّئَةُ بَعْدَهَا
“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya & di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”[8]
Ibnu Rajab menjelaskan hal di atas dgn perkataan salaf lainnya, “Balasan dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dgn kebaikan lainnya, maka itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula barangsiapa yang melaksanakan kebaikan lalu malah dilanjutkan dgn amalan kejelekan, maka ini adalah tanda tertolaknya atau tak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”[9]
Renungkanlah! Bagaimana lagi jika seseorang hanya rajin shalat di bulan Ramadhan (rajin shalat musiman), namun setelah Ramadhan shalat lima waktu begitu dilalaikan? Pantaskah amalan orang tersebut di bulan Ramadhan diterima?!
Al Lajnah Ad Da-imah Lil Buhuts ‘Ilmiyyah wal Ifta’ (komisi fatwa Saudi Arabia) mengatakan, “Adapun orang yang melakukan puasa Ramadhan & mengerjakan shalat hanya di bulan Ramadhan saja, maka orang seperti ini berarti telah melecehkan agama Allah. (Sebagian salaf mengatakan), “Sejelek-jelek kaum adalah yang mengenal Allah (rajin ibadah, pen) hanya pada bulan Ramadhan saja.” Oleh karena itu, tak sah puasa seseorang yang tak melaksanakan shalat di luar bulan Ramadhan. Bahkan orang seperti ini (yang meninggalkan shalat) dinilai kafir & telah melakukan kufur akbar, walaupun orang ini tak menentang kewajiban shalat. Orang seperti ini tetap dianggap kafir menurut pendapat ulama yang paling kuat.”[10] Hanya Allah yang memberi taufik.
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa & shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dgn amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab mengatakan, “Tidak ada nikmat yang lebih besar dari pengampunan dosa yang Allah anugerahkan.”[11] Sampai-sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu & akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dlm rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya oleh istri tercinta beliau yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengenai shalat malam yang banyak beliau lakukan, beliau pun mengatakan,
أَفَلاَ أُحِبُّ أَنْ أَكُونَ عَبْدًا شَكُورًا
“Tidakkah aku senang menjadi hamba yang bersyukur?”[12]
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan utk banyak berdzikir dgn mengangungkan Allah melalu bacaan takbir “Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya & hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah utk melaksanakan shalat tahajud.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat & bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: “Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka utk nikmat tersebut diharuskan utk bersyukur dgn nikmat yang semisalnya”.
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Setiap nikmat Allah berupa nikmat agama maupun nikmat dunia pada seorang hamba, semua itu patutlah disyukuri. Kemudian taufik utk bersyukur tersebut juga adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dgn bentuk syukur yang kedua. Kemudian taufik dari bentuk syukur yang kedua adalah suatu nikmat yang juga patut disyukuri dgn syukur lainnya. Jadi, rasa syukur akan ada terus sehingga seorang hamba merasa tak mampu utk mensyukuri setiap nikmat. Ingatlah, syukur yang sebenarnya adalah apabila seseorang mengetahui bahwa dirinya tak mampu utk bersyukur (secara sempurna).”[13]
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu & bukan musiman saja. [14]
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dgn berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa & merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ‘ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat utk melaksanakan puasa, tak merasa berat & tak ada rasa benci.
Ada sebagian orang yang hanya rajin ibadah & shalat malam di bulan Ramadhan saja, lantas dikatakan kepada mereka,
بئس القوم لا يعرفون لله حقا إلا في شهر رمضان إن الصالح الذي يتعبد و يجتهد السنة كلها
“Sejelek-jelek orang adalah yang hanya rajin ibadah di bulan Ramadhan saja. Sesungguhnya orang yang sholih adalah orang yang rajin ibadah & rajin shalat malam sepanjang tahun.” Ibadah bukan hanya di bulan Ramadhan, Rajab atau Sya’ban saja.
Asy Syibliy pernah ditanya, “Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, “Jadilah Rabbaniyyin & janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun & bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami kami juga dapat mengatakan, “Jadilah Rabbaniyyin & janganlah menjadi Romadhoniyyin.” Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun & jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
‘Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ‘Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu utk beramal?” ‘Aisyah menjawab,
لاَ. كَانَ عَمَلُهُ دِيمَةً
“Beliau tak mengkhususkan waktu tertentu utk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”[15]
Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) utk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).[16] Ibnu ‘Abbas, Mujahid & mayoritas ulama mengatakan bahwa “al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan, makna ayat tersebut adalah perintah utk beribadah kepada Allah selamanya, sepanjang hidup.[17]
Sebagai penutup, perhatikanlah perkataan Ibnu Rajab berikut, “Barangsiapa melakukan & menyelesaikan suatu ketaaatan, maka di antara tanda diterimanya amalan tersebut adalah dimudahkan utk melakukan amalan ketaatan lainnya. Dan di antara tanda tertolaknya suatu amalan adalah melakukan kemaksiatan setelah melakukan amalan ketaatan. Jika seseorang melakukan ketaatan setelah sebelumnya melakukan kejelekan, maka kebaikan ini akan menghapuskan kejelekan tersebut. Yang sangat bagus adalah mengikutkan ketaatan setelah melakukan ketaatan sebelumnya. Sedangkan yang paling jelek adalah melakukan kejelekan setelah sebelumnya melakukan amalan ketaatan. Ingatlah bahwa satu dosa yang dilakukan setelah bertaubat lebih jelek dari 70 dosa yang dilakukan sebelum bertaubat. … Mintalah pada Allah agar diteguhkan dlm ketaatan hingga kematian menjemput. Dan mintalah perlindungan pada Allah dari hati yang terombang-ambing.”[18]
Semoga Allah senantiasa memberi taufik kepada kita utk istiqomah dlm ketaatan hingga maut menjemput. Hanya Allah yang memberi taufik. Semoga Allah menerima amalan kita semua di bulan Ramadhan & memudahkan kita utk menyempurnakannya dgn melakukan puasa Syawal.
Segala puji bagi Allah yang dgn nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Diselesaikan di Batu Merah, kota Ambon, 4 Syawal 1430 H

Orang Cerdas Tidak Melewatkan Kesempatan Emas Di Bulan Dzulhijjah Syariat Islam

Para pembaca…semoga Anda selalu dlm keadaan sehat, penuh iman.
Termasuk tingkat kejeniusan yang sangat tinggi adalah mengenal kesempatan-kesempatan emas, waktu-waktu berharga, keadaan-keadaan penting yang disebutkan di dlm syariat Islam berdasarkan Al Quran & hadits shahih, & tak membiarkan kesempatan, waktu & keadaan tersebut terbuang percuma tanpa diisi dgn amal shalih.
Termasuk di dalamnya KESEMPATAN EMAS DI BULAN DZULHIJJAH!!!
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ يَعْنِي أَيَّامَ الْعَشْرِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ .
Artinya: “Tiada hari-hari yang amal shalih di dalamnya lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini”. yakni 10 hari pertama dari bulan Dzulhijjah, mereka (para shahabat) bertanya: “Wahai Rasulullah, & tak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya)?”, beliau bersabda: “Dan tak juga berjihad di jalan Allah (lebih utama darinya), kecuali seseorang yang berjuang dgn dirinya & hartanya lalu ia tak kembali dgn apapun”. (HR. Bukhari & Muslim)
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ وَلَا أَحَبُّ إِلَيْهِ مِنْ الْعَمَلِ فِيهِنَّ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنْ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ”.
Artinya: “Tiada hari-hari yang lebih agung di sisi Allah & yang lebih ia cintai utk beramal di dalamnya daripada 10 hari ini, maka perbanyaklah membaca tahlil, takbir, & tahmid di dalamnya”. (HR. Ahmad & di shahihkan oleh Al Mundziry & Ahmad Syakir tetapi dilemahkan oleh Al Albani di dlm kitab Dha’ih At Targhib wa At Tarhib, 744)
Abu Qatadah Al Anshari radhiyallahu ‘anhu berkata:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». رواه مسلم
Artinya: Bahwa Rasulullah ditanya tentang puasa Hari Arafah: “Menghapuskan (dosa-dosa) setahun lalu & setahun yang akan datang”. (HR. Muslim)
Dari Hadits-hadits di atas dianjurkan utk memperbanyak amal shalih di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, seperti; Menunaikan haji & umrah, berpuasa, berkurban, bertakbir, bertahmid & bertasbih serta bertahlil, serta amal shalih lainnya.
Kenapa dianggap cerdas orang yang menggunakan kesempatan emas ini?
1) Karena mungkin ini adalah ibadah terakhir & ini pertanda baik dari Allah Ta’ala.
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا اسْتَعْمَلَهُ ». فَقِيلَ كَيْفَ يَسْتَعْمِلُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « يُوَفِّقُهُ لِعَمَلٍ صَالِحٍ قَبْلَ الْمَوْتِ ».
Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jika Allah menginginkan kebaikan utk seorang hamba maka dia akan memakainya”, beliau ditanya: “Bagaimana Allah akan memakainya, wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam?”, beliau menjawab: “Allah akan memberinya petunjuk utk beramal shalaih sebelum meninggal”. (HR. Tirmidzi & dishahihkan di dlm kitab shahih Al Jami’, no. 304)
2) Karena mungkin kesempatan ini tak akan kembali lagi.
3) Karena mungkin jika kesempatan ini kembali kita tak dlm keadaan sehat & mampu beramal shalih.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ وَهُوَ يَعِظُهُ: ” اغْتَنِمْ خَمْسًا قَبْلَ خَمْسٍ , شَبَابَكَ قَبْلَ هَرَمِكَ , وَصِحَّتَكَ قَبْلَ سَقَمِكَ , وَغِنَاكَ قَبْلَ فَقْرِكَ , وَفَرَاغَكَ قَبْلَ شُغُلُكَ , وَحَيَاتَكَ قَبْلَ مَوْتِكَ “
Artinya: “Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda menasehatinya: “Gunakanlah dgn baik lima perkara sebelum datang lima (yang lain): MASA MUDAMU SEBELUM DATANG MASA TUAMU, SEHATMU SEBELUM DATANG SAKITMU, KAYAMU SEBELUM DATANG FAKIRMU, WAKTU LUANGMU SEBELUM DATANG WAKTU SIBUKMU DAN HIDUPMU SEBELUM DATANG MATIMU”. (HR. Al Hakim, Al Baihaqi & di shahihkan di dlm kitab Shahih Al Jami’, no. 1077)
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَقُولُ إِذَا أَمْسَيْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الصَّبَاحَ ، وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلاَ تَنْتَظِرِ الْمَسَاءَ ، وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِمَرَضِكَ ، وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ .
Artinya: “Abdullah bin Umar senantiasa mengucapkan: “Jika kamu masuk waktu sore maka janganlah menunggu waktu pagi & jika kamu masuk waktu pagi maka janganlah menunggu waktu sore, pergunakanlah kesehatanmu utk sakitmu & kehidupanmu utk kematianmu”. (HR. Bukhari)
4) Karena sifat malas adalah sifatnya munafik.
{إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا }
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, & Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri utk salat mereka berdiri dgn malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS. An Nisa: 142)
{وَمَا مَنَعَهُمْ أَنْ تُقْبَلَ مِنْهُمْ نَفَقَاتُهُمْ إِلَّا أَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَلَا يَأْتُونَ الصَّلَاةَ إِلَّا وَهُمْ كُسَالَى وَلَا يُنْفِقُونَ إِلَّا وَهُمْ كَارِهُونَ }
Artinya: “Dan tak ada yang menghalangi mereka utk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah & Rasul-Nya & mereka tak mengerjakan sembahyang, melainkan dgn malas & tak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dgn rasa enggan”. (QS. At Taubah:54)
Mari perhatikan perkataan yang sangat luar biasa ini …terutama bagi pemalas beribadah…
Berkata Syeikh Al Mufassir Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah:
والكسل لا يكون إلا من فقد الرغبة من قلوبهم، فلولا أن قلوبهم فارغة من الرغبة إلى الله وإلى ما عنده، عادمة للإيمان، لم يصدر منهم الكسل تفسير السعدي (ص: 210)
Artinya: “Sikap malas tak akan ada kecuali bagi siapa yang telah kehilangan keinginan (terhadap kebaikan) dari hati-hati mereka, maka kalau seandainya hati-hati mereka tak terlepas dari keinginan kepada Allah & (keinginan) kepada apa yang ada di sisi-Nya (yang disediakan-Nya berupa nikmat) & hilangnya iman, maka tak akan keluar dari mereka sikap malas”. (Lihat tafsir As Sa’diy, hal. 210)
Selasa 27 Dzulhijjah 1432H
Dammam, KSA
Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin
Artikel www.Moslemsunnah.Wordpress.com , dipublish ulang oleh www.muslim.or.id
sumber: www.muslim.or.id tags: Syariat Islam, Al Quran, Ibnu Abbas,

Jumat, 02 Agustus 2013

Info Para Guru & Siswa: Cara Cek SK Pembayaran Tunjangan Profesi 2013

Info Para Guru & Siswa: Cara Cek SK Pembayaran Tunjangan Profesi 2013: Bagaimana cara cek SK Pembayaran Tunjangan Profesi? Tulisan ini melanjutkan tulisan saya sebelumnya tentang telah terbitnya SK Pembayaran ...